MK Analisis Wacana BI
Tugas Akhir Mk Analisis Wacana
(Take Home)

Oleh:
Risman iye
JURUSAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
Tugas Akhir Mk Analisis Wacana
(Take Home)
1. Bagaimana perkembangan analisis wacana dari masa ke masa (terutama tiga dekade terakhir)?
Jawab :
Asal-usul mengenai analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film sampai analisis foto-foto media cetak, pada waktu itu sudah mulai diterbitkan di Perancis. Bersama dengan itu, Dell Haymes, di Amerika Serikat juga menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh, yaitu Language in Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistic dan strukturalis (structural linguistic) dan antropologi, yang menekankan pada analisis pemakaian bahasa, bentuk wacana, dan bentuk komunikasi. Pada dasawarsa 1960-an jug banyak terbit karya lain yang mengawali munculnya analisis wacana.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dalam pengamatan gejala perkembangan analisis wacana, antara lain:
1) pada awalnya, analisis wacana merupakan kajian kebahasaan structural dan deskriptif dalam batas-batas linguistik dan antropologi;
2) kajian tentang analisis wacana lebih mengarah ke analisis ragam wacana popular, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng, dan bentuk-bentuk interaksi ritual;
3) analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu dipisahkan dari paradigm gramatika tranformasi generatif yang juga berpengaruh sebagai metode analisis bahasa pada waktu itu (Dijk, dalam Rosidi, 2009).
Berbeda dengan dasawarsa 1960-an yang merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an justru memantapkan perkembangan analisis wacana yang sistematis sebagai bidang kajian tersendiri denga dasar beberapa disiplin ilmu.
Perkembangan analisis wacana yang sistematis terjadi pada tiga tahap. Tiga tahap itu adalah:
1) perkembangan teoretis dan metodologis;
Dalam analisis wacana, teori dan metodologi juga dipengaruhi oleh perubahan paradigm dalam kajian bahasa, misalnya sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan karya-karya Joshua Fisman. Selain itu, pada tahun 1972, Lavob menerbitkan hasil penelitiannya tentang pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit hitam, yang menurut analisis bentuk percakapan antar remaja dan juga analisis pengalaman pribadi seseorang;
2) adanya penemuan lingusitik karya filsuf Austin, Grise, Searle mengenai tindak bahasa (speech acts) pada dasawarsa 1970-an. Pendekatan itu memandang ujaran verbal tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam konteks tertentu, juga dapat mengemban fungsi, yaitu fungsi ilokusi yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan, atau evaluasi penutur, atau menurut hubungan penutur dan pendengar. Dengan cara itu, yang dapat dianalisis bukan saja hakikat konteks, tetapi juga hubungan antara ujaran sebagai objek lingusitik abstrak dan ujaran yang dipandang sebagai bentuk interaksi sosial. Hal ini berbeda dengan sosiolinguistik yang menekankan peran variasi bahasa dan konteks sosial;
3) munculnya kajian tentang pronominal dan pemarkah kohesif lain, koherensi, preposisi, topik, dan komentar, serta sruktur secara umum, ciri-ciri teks yang dipahami sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji dalam lingusitik dengan pandangan baru dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan kinerjanya dengan mengkaji struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks dan wacana. dalam studi wacana, kita tidak hanya menelaah bagain-bagian bahasa sebagai unsur kalimat, tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan yang utuh.
Kehadiran pendekatan baru dapat dilihat pada jenis-jenis wacana monolog (teks, dongeng, mitos, dan lain-lain). Percakapan dan bentuk-bentuk dialog dalam situasi sosial meupakan wujud pemakain bahasa secara spontan dan alamiah. Dengan demikian, di dalam percakapan, orang tidak hanya mengetahui kaidah-kaidah gramatika secara langsung, tetapi juga kaidah-kaidah alih giliran (turn taking). Pendekatan ini merupakan pendekatan pertama yang mengkaji stuktur kalimat dan gramatika verbal. Oleh karena itu, pendekatan itu dapat menambah dimensi baru dalam pengkajian stuktur wacana monolog dan pengkajian pemakaian bahasa sebagai interaksi sosial, sebagimana yang telah dilakukan pragmatic dan teori tindak bahasa.
Selanjutnya, analisis itu berkembang pula ke analisis percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Ruang lingkup analisis wacana semakin berkembang dengan adanya penelitian etnografi tentang peristiwa komunikasi yang disebut etnografi komunikasi (ethnography of communication). Selain itu, analisis wacana juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita, spontan, pertemuan formal, dan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain. Jadi, analisis wacana tidak saja menangani masalah analisis bentuk sapaan, mitos, dan interaksi ritual, tetapi juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda.
Hubungan antara teori wacana dan teori komunikasi perlu kita pahami untuk memahami perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu. Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi berasal dari James P. Gee. Gee (dalam Hamad, tt) membedakan discourse ke dalam dua jenis: Pertama, “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar lingusitik. Kedua, “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistic pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk nonlanguage “stuff” ini dapat berupa kepentingan ideology, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian dari satu komunikator ke komunikator lainnya dalam mengenali, mengakui diri sendiri dan orang lain.
Hamad (tt:4) menyatakan, “Keberadaan variasi bentuk wacana dapat ditemukan dalam media cetak (seperti novel),media audio (seperti pidato), media visual (seperti lukisan), media audiovisual (seperti film), di alam (bangunan), atau discourse/Discourse yang dimediasikan (seperti drama yang difilmkan)”. Jadi, tidak selamanya discourse/Discourse itu berada dalam bentuk media massa, apalagi hanya media cetak.
Analisis wacana mulai masuk dalam kajian komunikasi di Indonesia sejak decade 90-an. Kehadiran buku-buku tentang wacana pada tahun ini cukup banyak, seperti yang ditulis oleh Fairclough (1995a dan 1995b), Mill (1997), Gee (1999, 2005) dan Tischer dkk (2000), serta penerbitan buku di dalam negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Hamad (2004), memperkuat metode dan pelaksaan riset dengan memakai analisis wacana, baik sebagai analisis naskah maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
Namun demikian, Hamad (tt:5) menyatakan bahwa cikal-bakal pemikiran yang mengantar tibanya analisis wacana (discourse analysis) sesungguhnya dimulai oleh Krippendorff (1980). Krippendorf (dalam Hamad, tt:5) menyatakan bahwa analisis isi kuantitatif harus diperkuat dengan kajian tentang indeks dan symptom, serta representasi linguistic. Selanjutnya, Berger (dalam Hamad, tt:5) menyatakan bahwa ada teknik-teknik analisis media (media analysis techniques) yang sama sekali berbeda dengan analisis isi dalam tradisi kuantitatif, yaitu semiological analysis, marxist analysis, psychoanalityc critism, dan sociological.
2. Tuliskan masing-masing satu contoh wacana transaksional dan wacana interaksional (cantumkan sumbernya).
Jawab :
Berdasarkan tanggapan mitra tutur atau pembaca, wacana dikelompokkan atas wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional bercirikan adanya pemenuhan oleh mitra tutur/pembaca atas harapan atau keinginan penutur/penulis, seperti dalam perintah atau surat permohonan. Wacana interaksional bercirikan adanya tanggapan timbal-balik dari penutur dan mitra tutur, seperti dalam jual-beli. Contoh (1) menunjukkan jenis wacana transaksional, sedangkan (3) menunjukkan jenis wacana interaksional.
(1) Dosen : Kumpulan pekerjaan rumah ini minggu depan, ya.
Mahasiswa : Baik,Pak.
(2) Penumpang : Stasuin, berapa, Bang?
Tukang becak : Lima ribu.
Penumpang : Wah, mahal amat, bang. Tiga ribu, biasa.
Tukang becak : kan jauh dari sini, Mbak. (Kushartanti, dkk: 2007)
3. Uraikan sekelumit pandangan (hipotesis) Sapir-Whorf, kemudian deskripsikan hubungannya dengan kegiatan menganalisis suatu wacana!
Jawab :
Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita. “Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula”.
Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial. Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain orang-orang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, dan lain sebagainya cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya penekanan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain sebagainya.
Para peneliti membagi hipotesis Whorf menjadi dua bagian, yaitu :
1. Determinisme Linguistik
Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma – norma budaya. Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasiakn juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai budaya.
2. Relativitas Linguistik
Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan.
Beberapa uraian para ahli dalam hipotesis ini adalah sebagai berikut :
a) Bahasa Mempengaruhi Pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangan terhadap realitas. Pikiran dapat terkondisikan oleh bahasa yang digunakan manusia.
b) Pikiran Mempengaruhi Bahasa
Pendukung pendapat ini adalah Jean Peaget, yang meneliti kognitif anak. Ia melihat bahwa aspek koginit anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh anak.
c) Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa ditemukan oleh Benyamin Vigotski. Seorang ahli semantik yang memperbaharui penelitian Jean Piageat yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Hal ini diterima oleh ahli kognitif.
Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Wilayah wacana budaya lebih berkaitan dengan wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap hidup, dan gal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari’. Wilayah itu kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan, yang isinya kemudian disebut wacana budaya.
Hipotesis Sapir-whorf menyatakan bahwa bahasa berpengaruh terhadap mental, perilaku dan budaya manusia. Bahasa menjadi alat pembentuk gagasan yang memengaruhi pandangan penutur terhadap dunia di sekitarnya. Salah satu tafsiran dari hipotesis tersebut ialah bahwa gagasan manusia tentang realitas sosial disekitarnya pada hakikatnya sangat dekat dengan sistem bahasa yang dimiliki dan diujarkan. Bahasa menjadi kunci utama untuk memahami budaya, artinya hal-hal yang berkaitan dengan pola hidup, sistem nilai, adat istiadat, yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, dapat dipahami dan dipelajari lewat bahasa. Hubungan bahasa dan budaya bersifat timbal balik, saling bersinggungan. Bahasa menjadi cermin atau representasi budaya dan budaya membentuk dan mengendalikan bahasa ( Arifin dan Junaiyah, 2010: 89-90).
4. Bagaimana saudara membedakan istilah teks, koteks dan konteks?
Jawab :
Teks
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3) ujaran yang dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi atau komunikasi manusia.
Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa;
A text is traditionally understood to be a piece of written language a whole 'work' such as a poem or a novel, or a relatively discrete part of a work such as a chapter. A rather broader conception has become common within discourse analysis, where a text may be either written or spoken discourse, so that, for example, the words used in a conversation (or their written transcription) constitute a text.
Nunan (1993:6) mengatakan “text to refer to any written record of communicative event. Discourse to refer to the interpretation of the communicative event in context”. Maksud pendapat yang dikemukakan Nunan tersebut menunjukkan bahwa teks mengacu pada bahasa yang sifatnya tertulis dari suatu pristiwa komunikasi. Wacana mengacu pada interpretasi dari suatu pristiwa komunikasi berdasarkan konteksnya. Dengan kata lain, suatu teks lebih mengacu pada bahasa tulis dan wacana merujuk pada interpretasi yang dilihat dari kaitannya dengan kontek penggunaaan bahasa dalam proses komunikasi. Ia mengemukakan “the term ‘text’ and ‘discourse’ are interchangeable”. Artinya, teks dan wacana merupakan dua hal yang dapat saling bertukar. Dengan demikian, secara definisi pemakaiannya antara teks dan wacana tidaklah berbeda (sama).
koteks
Dalam Kamus Linguistik (2011:137), koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi (mengiringi).
Keberadaan koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Ko-teks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya. Perhatikan contoh berikut ini.
Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga seorang pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain itu, beliau juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya.
Kata dia, beliau dan –nya yang terdapat pada kalimat kedua dan ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada kaliamt pertama. Tafsiran itu didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Jadi, Markusen pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.
Konteks
Kridalaksana (2011:134) mengartikan konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu, (2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.
Menurut Brown & Yule (1983) konteks adalah lingkungan atau keadaan tempat bahasa digunakan. Halliday & Hasan (1994) mengatakan hafiah konteks berarti “something accompanying text”, yaitu sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks, sehingga dapat diartikan konteks sebagai situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Kemudian, menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Berdasarkan pengertian teks, koteks dan konteks di atas dapat disimpulkan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa baik lisan maupun tulisan yang memiliki isi dan bentuk yang saling berkaitan. Koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya (teks lain). Konteks adalah ruang dan waktu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks, yaitu kejadian-kejadian nonverbal atau keseluruhan lingkungan teks itu.
Dalam teks terdapat koteks yang menjadikan sebuah teks menjadi kohesif dan koheren, sedangkan konteks, selain memengaruhi pemaknaan terhadap suatu teks, konteks juga menjadi wahana pembentuk teks karena makna yang terealisasi di dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteksnya.
5. Uraikan secara singkat mengenai pendapat tokoh-tokoh seperti Fairclogh (Model Perubahan Sosial), Dilthey & Gadamer (Hermeneutika), dan Halliday (Linguistik Sistem Fungsional) tentang analisis wacana kritis (AWK)?
Jawab :
AWK menurut Norman Fairclough
Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practice. Text berhubungan dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengetian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.
Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):
1. Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik;
2. Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
3. Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah akal sehat”.
Model Norman Fairclough (Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:
1. Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis lingu¬istik – analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fair¬clough menadai pada semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
a. Kohesi dan Koherensi
Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi), sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
b. Tata Bahasa
Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan keduanya.
Tema merupakan analisis terhadap tema yang tertujuan untuk melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa yang kerap muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjil dibandingkan dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh: penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah, dan lain-lain.
c. Diksi
Analisis yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks. Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas, dan lain-lain.
2. Dimensi Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi ke¬wacanaan (discourse practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pe¬mrosesan wacana yang meliputi aspek peng-hasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Be¬berapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan yang lain berupa proses-proses penggunaan dan pe¬nyebaran wacana. Berkenaan dengan proses-proses insti-tusional, Fairclough merujuk rutini¬tas institusi seperti prosedur-prosedur editor yang dilibat¬kan dalam penghasilan teks-teks media. Praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi kewacanan.
a. Produksi Teks
Pada tahap ini dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri (siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media, pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil negosiasi dalam ruang redaksi.
b. Penyebaran Teks
Pada tahap ini dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap kekuatan teks itu sendiri. Televisi melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu. Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.
c. Konsumsi Teks
Dianalisis pihak-pihak yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media itu sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya masing-masing.
3. Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah analisis praktik sosio¬budaya media dalam analisis wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media se-sungguhnya memengaruhi bagaimana wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:
a. Situasional
Setiap teks yang lahir pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.
b. Institusional
Level ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang mempengaruhi isi sebuah teks.
c. Sosial
Aspek sosial melihat lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.
AWK menurut Dilthey & Gadamer (Hermeneutika)
Hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur stuktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri keluar dan memungkinkan makna itu muncul.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna objektif ataukah makna subjektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika :penggas, teks, dan pembaca, menjadi titik beda dari masing-masing hermeneutika.
Untuk memahami kode bahasa dalam menangkap makna teks itu, hermeneutika diluaskan dari teks eksegese (menafsir teks-teks kitab suci) menjadi hermeneutika tekstual antar teks berkat jasa Dilthey dan tokoh Gadamer.
Wilhelm Dilthey
Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman hermeneutika bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikan nya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan, Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.
Hans-Georg Gadamer
Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis (1) kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”, (2) situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan, (3) setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. (4) menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna objektif teks.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya.
AWK menurut Halliday
Konsep sistemik fungsional linguistik pertama kali diperkenalkan oleh MAK Halliday. Di dalam pandangan SFL, bahasa mempunyai dua aspek utama yaitu ‘sistemik’ dan ‘fungsional’. Santosa (2011) menyatakan bahwa secara sistemik bahasa mempunyai sistem yang secara hirarkis bekerja secara simultan dan sistemik dari sistem yang lebih rendah, fonologi/grafologi, menuju ke sistem yang lebih tinggi, leksikogramatika, semantik wacana dan struktur teks. Masing-masing level tidak dapat dipisahkan karena masing-masing level tersebut merupakan organisme yang mempunyai peran saling terkait dalam merealisasikan makna holistik suatu wacana. Kemudian Santosa (2011: 1) menambahkan bahwa secara fungsional, bahasa digunakan untuk mengekspresikan suatu tujuan atau fungsi proses sosial di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Setiap tataran bahasa mempunyai fungsi sendiri-sendiri untuk merealisasikan tujuan sosial tersebut.
Dalam AWK, kajian wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan hanya untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik-praktik tertentu.
Halliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah suatu pilihan semantis data konteks sosial, yaitu suatu cara pengungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis. Semua bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat disebut teks. Dalam hal ini ada empat catatan mengenai teks yang perlu dikemukakan sebagai berikut:
1) Teks pada hakikatnya adalah sebuah unit semantis
2) Teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi
3) Teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantis
4) Situasi merupakan faktor penentu teks
Halliday menyebutkan bahwa situasi merupakan lingkungan tempat teks datang pada kehidupan. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana.
6. Jika dibanding-bandingkan di antara teori dasar (grounded) dan metode etnografi, metode mana yang lebih mudah diterapkan menurut pandangan saudara? Jelaskan!
Jawab :
Jika dibandingkan antara GT dan etnografi, menurut saya yang lebih mudah diterapkan adalah metode etnografi. Salah satu aspek yang paling berharga yang dihasilkan dari penelitian etnografi adalah kedalamannya. Peneliti melihat apa yang dilakukan orang serta apa yang mereka katakan. Peneliti dapat memperoleh pemahaman yang mendalam tentang orang-orang, organisasi, dan konteks yang lebih luas. Peneliti lapangan mengembangkan keakraban yang intim dengan dilema, frustrasi, rutinitas, hubungan, dan risiko yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Kekuatan yang mendalam dari etnografi adalah yang paling “mendalam” atau “intensif”. Dari pengetahuan tentang apa yang terjadi di lapangan dapat memberikan informasi penting untuk perumusan asumsi penelitian. Selain itu metode etnografi lebih sistematis dan terarah, serta metode etnografi tidak saja dapat digunakan dalam ilmu antropologi, tetapi juga dapat digunakan dalam bidang ilmu lainnya.
Kekurangan GT jika dibandingkan dengan metode etnografi yaitu GT terlalu memakan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan adanya metodologi yang mengharuskan para peneliti untuk bersikap sangat teliti dan rajin. Proses Grounded Theory selama ini dianggap sangat kompleks dan membingungkan. Banyak orang yang kesulitan mempraktikannya, kecuali dalam kondisi yang longgar, tidak kakuk, dan tidak terlalu dispesifikasi.
Daftar Pustaka :
Arifin, E. Zainal dan Junaiyah H.M.. 2010. Keutuhan Wacana. Jakarta: Grasindo.
Brown, Gillian dan Yule, George. 1984. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. New York: Longman Group Limited.
Halliday, M.A.K; Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: UGM Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kushartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mulyana. 2005. Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nunan, David. (1993). Introducing Discourse Analysis. London: Penguin English.
Tugas Akhir Mk Analisis Wacana
(Take Home)

Oleh:
Risman iye
JURUSAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
Tugas Akhir Mk Analisis Wacana
(Take Home)
1. Bagaimana perkembangan analisis wacana dari masa ke masa (terutama tiga dekade terakhir)?
Jawab :
Asal-usul mengenai analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film sampai analisis foto-foto media cetak, pada waktu itu sudah mulai diterbitkan di Perancis. Bersama dengan itu, Dell Haymes, di Amerika Serikat juga menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh, yaitu Language in Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistic dan strukturalis (structural linguistic) dan antropologi, yang menekankan pada analisis pemakaian bahasa, bentuk wacana, dan bentuk komunikasi. Pada dasawarsa 1960-an jug banyak terbit karya lain yang mengawali munculnya analisis wacana.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dalam pengamatan gejala perkembangan analisis wacana, antara lain:
1) pada awalnya, analisis wacana merupakan kajian kebahasaan structural dan deskriptif dalam batas-batas linguistik dan antropologi;
2) kajian tentang analisis wacana lebih mengarah ke analisis ragam wacana popular, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng, dan bentuk-bentuk interaksi ritual;
3) analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu dipisahkan dari paradigm gramatika tranformasi generatif yang juga berpengaruh sebagai metode analisis bahasa pada waktu itu (Dijk, dalam Rosidi, 2009).
Berbeda dengan dasawarsa 1960-an yang merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an justru memantapkan perkembangan analisis wacana yang sistematis sebagai bidang kajian tersendiri denga dasar beberapa disiplin ilmu.
Perkembangan analisis wacana yang sistematis terjadi pada tiga tahap. Tiga tahap itu adalah:
1) perkembangan teoretis dan metodologis;
Dalam analisis wacana, teori dan metodologi juga dipengaruhi oleh perubahan paradigm dalam kajian bahasa, misalnya sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan karya-karya Joshua Fisman. Selain itu, pada tahun 1972, Lavob menerbitkan hasil penelitiannya tentang pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit hitam, yang menurut analisis bentuk percakapan antar remaja dan juga analisis pengalaman pribadi seseorang;
2) adanya penemuan lingusitik karya filsuf Austin, Grise, Searle mengenai tindak bahasa (speech acts) pada dasawarsa 1970-an. Pendekatan itu memandang ujaran verbal tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam konteks tertentu, juga dapat mengemban fungsi, yaitu fungsi ilokusi yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan, atau evaluasi penutur, atau menurut hubungan penutur dan pendengar. Dengan cara itu, yang dapat dianalisis bukan saja hakikat konteks, tetapi juga hubungan antara ujaran sebagai objek lingusitik abstrak dan ujaran yang dipandang sebagai bentuk interaksi sosial. Hal ini berbeda dengan sosiolinguistik yang menekankan peran variasi bahasa dan konteks sosial;
3) munculnya kajian tentang pronominal dan pemarkah kohesif lain, koherensi, preposisi, topik, dan komentar, serta sruktur secara umum, ciri-ciri teks yang dipahami sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji dalam lingusitik dengan pandangan baru dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan kinerjanya dengan mengkaji struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks dan wacana. dalam studi wacana, kita tidak hanya menelaah bagain-bagian bahasa sebagai unsur kalimat, tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan yang utuh.
Kehadiran pendekatan baru dapat dilihat pada jenis-jenis wacana monolog (teks, dongeng, mitos, dan lain-lain). Percakapan dan bentuk-bentuk dialog dalam situasi sosial meupakan wujud pemakain bahasa secara spontan dan alamiah. Dengan demikian, di dalam percakapan, orang tidak hanya mengetahui kaidah-kaidah gramatika secara langsung, tetapi juga kaidah-kaidah alih giliran (turn taking). Pendekatan ini merupakan pendekatan pertama yang mengkaji stuktur kalimat dan gramatika verbal. Oleh karena itu, pendekatan itu dapat menambah dimensi baru dalam pengkajian stuktur wacana monolog dan pengkajian pemakaian bahasa sebagai interaksi sosial, sebagimana yang telah dilakukan pragmatic dan teori tindak bahasa.
Selanjutnya, analisis itu berkembang pula ke analisis percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Ruang lingkup analisis wacana semakin berkembang dengan adanya penelitian etnografi tentang peristiwa komunikasi yang disebut etnografi komunikasi (ethnography of communication). Selain itu, analisis wacana juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita, spontan, pertemuan formal, dan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain. Jadi, analisis wacana tidak saja menangani masalah analisis bentuk sapaan, mitos, dan interaksi ritual, tetapi juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda.
Hubungan antara teori wacana dan teori komunikasi perlu kita pahami untuk memahami perkembangan analisis wacana sebagai disiplin ilmu. Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi berasal dari James P. Gee. Gee (dalam Hamad, tt) membedakan discourse ke dalam dua jenis: Pertama, “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar lingusitik. Kedua, “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistic pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk nonlanguage “stuff” ini dapat berupa kepentingan ideology, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian dari satu komunikator ke komunikator lainnya dalam mengenali, mengakui diri sendiri dan orang lain.
Hamad (tt:4) menyatakan, “Keberadaan variasi bentuk wacana dapat ditemukan dalam media cetak (seperti novel),media audio (seperti pidato), media visual (seperti lukisan), media audiovisual (seperti film), di alam (bangunan), atau discourse/Discourse yang dimediasikan (seperti drama yang difilmkan)”. Jadi, tidak selamanya discourse/Discourse itu berada dalam bentuk media massa, apalagi hanya media cetak.
Analisis wacana mulai masuk dalam kajian komunikasi di Indonesia sejak decade 90-an. Kehadiran buku-buku tentang wacana pada tahun ini cukup banyak, seperti yang ditulis oleh Fairclough (1995a dan 1995b), Mill (1997), Gee (1999, 2005) dan Tischer dkk (2000), serta penerbitan buku di dalam negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001), dan Hamad (2004), memperkuat metode dan pelaksaan riset dengan memakai analisis wacana, baik sebagai analisis naskah maupun sebagai analisis wacana kritis (critical discourse analysis).
Namun demikian, Hamad (tt:5) menyatakan bahwa cikal-bakal pemikiran yang mengantar tibanya analisis wacana (discourse analysis) sesungguhnya dimulai oleh Krippendorff (1980). Krippendorf (dalam Hamad, tt:5) menyatakan bahwa analisis isi kuantitatif harus diperkuat dengan kajian tentang indeks dan symptom, serta representasi linguistic. Selanjutnya, Berger (dalam Hamad, tt:5) menyatakan bahwa ada teknik-teknik analisis media (media analysis techniques) yang sama sekali berbeda dengan analisis isi dalam tradisi kuantitatif, yaitu semiological analysis, marxist analysis, psychoanalityc critism, dan sociological.
2. Tuliskan masing-masing satu contoh wacana transaksional dan wacana interaksional (cantumkan sumbernya).
Jawab :
Berdasarkan tanggapan mitra tutur atau pembaca, wacana dikelompokkan atas wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional bercirikan adanya pemenuhan oleh mitra tutur/pembaca atas harapan atau keinginan penutur/penulis, seperti dalam perintah atau surat permohonan. Wacana interaksional bercirikan adanya tanggapan timbal-balik dari penutur dan mitra tutur, seperti dalam jual-beli. Contoh (1) menunjukkan jenis wacana transaksional, sedangkan (3) menunjukkan jenis wacana interaksional.
(1) Dosen : Kumpulan pekerjaan rumah ini minggu depan, ya.
Mahasiswa : Baik,Pak.
(2) Penumpang : Stasuin, berapa, Bang?
Tukang becak : Lima ribu.
Penumpang : Wah, mahal amat, bang. Tiga ribu, biasa.
Tukang becak : kan jauh dari sini, Mbak. (Kushartanti, dkk: 2007)
3. Uraikan sekelumit pandangan (hipotesis) Sapir-Whorf, kemudian deskripsikan hubungannya dengan kegiatan menganalisis suatu wacana!
Jawab :
Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita. “Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula”.
Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial. Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain orang-orang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, dan lain sebagainya cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya penekanan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain sebagainya.
Para peneliti membagi hipotesis Whorf menjadi dua bagian, yaitu :
1. Determinisme Linguistik
Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma – norma budaya. Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasiakn juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai budaya.
2. Relativitas Linguistik
Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan.
Beberapa uraian para ahli dalam hipotesis ini adalah sebagai berikut :
a) Bahasa Mempengaruhi Pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangan terhadap realitas. Pikiran dapat terkondisikan oleh bahasa yang digunakan manusia.
b) Pikiran Mempengaruhi Bahasa
Pendukung pendapat ini adalah Jean Peaget, yang meneliti kognitif anak. Ia melihat bahwa aspek koginit anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh anak.
c) Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa ditemukan oleh Benyamin Vigotski. Seorang ahli semantik yang memperbaharui penelitian Jean Piageat yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Hal ini diterima oleh ahli kognitif.
Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Wilayah wacana budaya lebih berkaitan dengan wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap hidup, dan gal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari’. Wilayah itu kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan, yang isinya kemudian disebut wacana budaya.
Hipotesis Sapir-whorf menyatakan bahwa bahasa berpengaruh terhadap mental, perilaku dan budaya manusia. Bahasa menjadi alat pembentuk gagasan yang memengaruhi pandangan penutur terhadap dunia di sekitarnya. Salah satu tafsiran dari hipotesis tersebut ialah bahwa gagasan manusia tentang realitas sosial disekitarnya pada hakikatnya sangat dekat dengan sistem bahasa yang dimiliki dan diujarkan. Bahasa menjadi kunci utama untuk memahami budaya, artinya hal-hal yang berkaitan dengan pola hidup, sistem nilai, adat istiadat, yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, dapat dipahami dan dipelajari lewat bahasa. Hubungan bahasa dan budaya bersifat timbal balik, saling bersinggungan. Bahasa menjadi cermin atau representasi budaya dan budaya membentuk dan mengendalikan bahasa ( Arifin dan Junaiyah, 2010: 89-90).
4. Bagaimana saudara membedakan istilah teks, koteks dan konteks?
Jawab :
Teks
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3) ujaran yang dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi atau komunikasi manusia.
Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa;
A text is traditionally understood to be a piece of written language a whole 'work' such as a poem or a novel, or a relatively discrete part of a work such as a chapter. A rather broader conception has become common within discourse analysis, where a text may be either written or spoken discourse, so that, for example, the words used in a conversation (or their written transcription) constitute a text.
Nunan (1993:6) mengatakan “text to refer to any written record of communicative event. Discourse to refer to the interpretation of the communicative event in context”. Maksud pendapat yang dikemukakan Nunan tersebut menunjukkan bahwa teks mengacu pada bahasa yang sifatnya tertulis dari suatu pristiwa komunikasi. Wacana mengacu pada interpretasi dari suatu pristiwa komunikasi berdasarkan konteksnya. Dengan kata lain, suatu teks lebih mengacu pada bahasa tulis dan wacana merujuk pada interpretasi yang dilihat dari kaitannya dengan kontek penggunaaan bahasa dalam proses komunikasi. Ia mengemukakan “the term ‘text’ and ‘discourse’ are interchangeable”. Artinya, teks dan wacana merupakan dua hal yang dapat saling bertukar. Dengan demikian, secara definisi pemakaiannya antara teks dan wacana tidaklah berbeda (sama).
koteks
Dalam Kamus Linguistik (2011:137), koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi (mengiringi).
Keberadaan koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap. Ko-teks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya. Perhatikan contoh berikut ini.
Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga seorang pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain itu, beliau juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya.
Kata dia, beliau dan –nya yang terdapat pada kalimat kedua dan ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada kaliamt pertama. Tafsiran itu didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Jadi, Markusen pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.
Konteks
Kridalaksana (2011:134) mengartikan konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu, (2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.
Menurut Brown & Yule (1983) konteks adalah lingkungan atau keadaan tempat bahasa digunakan. Halliday & Hasan (1994) mengatakan hafiah konteks berarti “something accompanying text”, yaitu sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks, sehingga dapat diartikan konteks sebagai situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Kemudian, menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Berdasarkan pengertian teks, koteks dan konteks di atas dapat disimpulkan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa baik lisan maupun tulisan yang memiliki isi dan bentuk yang saling berkaitan. Koteks diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya (teks lain). Konteks adalah ruang dan waktu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks, yaitu kejadian-kejadian nonverbal atau keseluruhan lingkungan teks itu.
Dalam teks terdapat koteks yang menjadikan sebuah teks menjadi kohesif dan koheren, sedangkan konteks, selain memengaruhi pemaknaan terhadap suatu teks, konteks juga menjadi wahana pembentuk teks karena makna yang terealisasi di dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteksnya.
5. Uraikan secara singkat mengenai pendapat tokoh-tokoh seperti Fairclogh (Model Perubahan Sosial), Dilthey & Gadamer (Hermeneutika), dan Halliday (Linguistik Sistem Fungsional) tentang analisis wacana kritis (AWK)?
Jawab :
AWK menurut Norman Fairclough
Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practice. Text berhubungan dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengetian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.
Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):
1. Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik;
2. Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
3. Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah akal sehat”.
Model Norman Fairclough (Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:
1. Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis lingu¬istik – analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fair¬clough menadai pada semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
a. Kohesi dan Koherensi
Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi), sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
b. Tata Bahasa
Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan keduanya.
Tema merupakan analisis terhadap tema yang tertujuan untuk melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa yang kerap muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjil dibandingkan dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh: penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah, dan lain-lain.
c. Diksi
Analisis yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks. Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas, dan lain-lain.
2. Dimensi Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi ke¬wacanaan (discourse practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pe¬mrosesan wacana yang meliputi aspek peng-hasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Be¬berapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan yang lain berupa proses-proses penggunaan dan pe¬nyebaran wacana. Berkenaan dengan proses-proses insti-tusional, Fairclough merujuk rutini¬tas institusi seperti prosedur-prosedur editor yang dilibat¬kan dalam penghasilan teks-teks media. Praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi kewacanan.
a. Produksi Teks
Pada tahap ini dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri (siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media, pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil negosiasi dalam ruang redaksi.
b. Penyebaran Teks
Pada tahap ini dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap kekuatan teks itu sendiri. Televisi melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu. Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.
c. Konsumsi Teks
Dianalisis pihak-pihak yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media itu sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya masing-masing.
3. Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah analisis praktik sosio¬budaya media dalam analisis wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media se-sungguhnya memengaruhi bagaimana wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:
a. Situasional
Setiap teks yang lahir pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.
b. Institusional
Level ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang mempengaruhi isi sebuah teks.
c. Sosial
Aspek sosial melihat lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.
AWK menurut Dilthey & Gadamer (Hermeneutika)
Hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur stuktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri keluar dan memungkinkan makna itu muncul.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna objektif ataukah makna subjektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika :penggas, teks, dan pembaca, menjadi titik beda dari masing-masing hermeneutika.
Untuk memahami kode bahasa dalam menangkap makna teks itu, hermeneutika diluaskan dari teks eksegese (menafsir teks-teks kitab suci) menjadi hermeneutika tekstual antar teks berkat jasa Dilthey dan tokoh Gadamer.
Wilhelm Dilthey
Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman hermeneutika bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikan nya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan, Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.
Hans-Georg Gadamer
Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis (1) kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”, (2) situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan, (3) setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. (4) menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna objektif teks.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya.
AWK menurut Halliday
Konsep sistemik fungsional linguistik pertama kali diperkenalkan oleh MAK Halliday. Di dalam pandangan SFL, bahasa mempunyai dua aspek utama yaitu ‘sistemik’ dan ‘fungsional’. Santosa (2011) menyatakan bahwa secara sistemik bahasa mempunyai sistem yang secara hirarkis bekerja secara simultan dan sistemik dari sistem yang lebih rendah, fonologi/grafologi, menuju ke sistem yang lebih tinggi, leksikogramatika, semantik wacana dan struktur teks. Masing-masing level tidak dapat dipisahkan karena masing-masing level tersebut merupakan organisme yang mempunyai peran saling terkait dalam merealisasikan makna holistik suatu wacana. Kemudian Santosa (2011: 1) menambahkan bahwa secara fungsional, bahasa digunakan untuk mengekspresikan suatu tujuan atau fungsi proses sosial di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Setiap tataran bahasa mempunyai fungsi sendiri-sendiri untuk merealisasikan tujuan sosial tersebut.
Dalam AWK, kajian wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan hanya untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik-praktik tertentu.
Halliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah suatu pilihan semantis data konteks sosial, yaitu suatu cara pengungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis. Semua bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat disebut teks. Dalam hal ini ada empat catatan mengenai teks yang perlu dikemukakan sebagai berikut:
1) Teks pada hakikatnya adalah sebuah unit semantis
2) Teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi
3) Teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantis
4) Situasi merupakan faktor penentu teks
Halliday menyebutkan bahwa situasi merupakan lingkungan tempat teks datang pada kehidupan. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana.
6. Jika dibanding-bandingkan di antara teori dasar (grounded) dan metode etnografi, metode mana yang lebih mudah diterapkan menurut pandangan saudara? Jelaskan!
Jawab :
Jika dibandingkan antara GT dan etnografi, menurut saya yang lebih mudah diterapkan adalah metode etnografi. Salah satu aspek yang paling berharga yang dihasilkan dari penelitian etnografi adalah kedalamannya. Peneliti melihat apa yang dilakukan orang serta apa yang mereka katakan. Peneliti dapat memperoleh pemahaman yang mendalam tentang orang-orang, organisasi, dan konteks yang lebih luas. Peneliti lapangan mengembangkan keakraban yang intim dengan dilema, frustrasi, rutinitas, hubungan, dan risiko yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Kekuatan yang mendalam dari etnografi adalah yang paling “mendalam” atau “intensif”. Dari pengetahuan tentang apa yang terjadi di lapangan dapat memberikan informasi penting untuk perumusan asumsi penelitian. Selain itu metode etnografi lebih sistematis dan terarah, serta metode etnografi tidak saja dapat digunakan dalam ilmu antropologi, tetapi juga dapat digunakan dalam bidang ilmu lainnya.
Kekurangan GT jika dibandingkan dengan metode etnografi yaitu GT terlalu memakan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan adanya metodologi yang mengharuskan para peneliti untuk bersikap sangat teliti dan rajin. Proses Grounded Theory selama ini dianggap sangat kompleks dan membingungkan. Banyak orang yang kesulitan mempraktikannya, kecuali dalam kondisi yang longgar, tidak kakuk, dan tidak terlalu dispesifikasi.
Daftar Pustaka :
Arifin, E. Zainal dan Junaiyah H.M.. 2010. Keutuhan Wacana. Jakarta: Grasindo.
Brown, Gillian dan Yule, George. 1984. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. New York: Longman Group Limited.
Halliday, M.A.K; Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: UGM Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kushartanti, dkk. 2007. Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mulyana. 2005. Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nunan, David. (1993). Introducing Discourse Analysis. London: Penguin English.
Komentar
Posting Komentar